Oleh : Dahlan Iskan
Kamis, 20 Januari 2021
SAMPAI hari ini saya belum juga hafal nama ibu kota baru Myanmar. Padahal itu sudah tidak baru lagi. Sudah 15 tahun pindah dari Yangon ke situ.
Apakah nama ibu kota baru Indonesia akan senasib itu?
Rasanya tidak. Nama Nusantara cukup mudah diucapkan. Bandingkan dengan pengucapan ibu kota baru Myanmar itu: Naypyidaw.
Pandemi Covid ternyata tidak menyurutkan sedikit pun tekad pemerintahan Jokowi untuk pindah ibu kota. Bahkan ibu kota baru itu kini sudah benar-benar legal. DPR sudah mengesahkan UU-nya, Selasa lalu. Berikut namanya.
Dari siapa usulan nama Nusantara itu?
“Dari Pak Presiden sendiri. Ide Pak Jokowi sendiri,” jawab seorang menteri yang saya hubungi.
Maka kalau kelak akan berulang tahun, mestinya, HUT kota Nusantara jatuh setiap tanggal 18 Januari.
Nama Presiden Jokowi akan abadi di situ: sebagai pemindah ibu kota negara sekaligus pemberi nama kota baru itu.
Maka juru ramal pun mulai mengutak-atik nasib masa depan Nusantara. “Kenapa pilih nama empat suku kata ya?” ujar seorang peramal. Ia bersandar pada kepercayaan Tionghoa. “Empat itu kan lambang kematian,” tambahnya.
Ia lebih berharap nama ibu kota baru itu ”Jokowi”. Tiga suku kata. “Tiga itu lambang kehidupan,” katanya.
“Lho nama ibu kota baru Malaysia kan juga empat suku kata. Pu-tra-ja-ya,” kata saya.
“Makanya, Malaysia juga tidak maju. Malah mundur,” jawabnya.
“Nama jelek kan bisa dibuat baik dengan cara dibuang sialnya,” sergah saya.
“Iya, sih,” jawabnya pasrah.
Media di Tiongkok sudah sepakat bagaimana cara menulis Nusantara dalam huruf Mandarin. Pasti bunyi tulisan itu nu-san-ta-la. Tapi pakai huruf Mandarin yang mana ketika menuliskan nu-san-ta-la. Begitu banyak huruf Mandarin yang bunyinya itu.
Ternyata media di Tiongkok menuliskannya begini: ????.
Bagaimana dengan primbon dari klenik Jawa? Bukankah Pak Jokowi orang Solo –yang bisa bertanya pada langit dengan cara Jawa?
“Nama Nusantara itu sudah sesuai dengan petunjuk langit,” ujar seorang menteri yang saya hubungi.
Tentu hari Nusantara dilahirkan pun sudah dimintakan pertanda dari langit. Dipilihlah hari itu: Selasa Wage. Selasa = 3. Wage = 4. Dijumlah: 7. Angka yang sangat kecil untuk itungan Jawa.
Menurut primbon Jawa, orang yang lahir Selasa Wage punya watak ini: suka mengalah, suka melindungi, dan mampu mengerjakan hal-hal yang diperintahkan orang lain dengan baik.
Sisi lainnya: tidak cukup berwawasan, tidak suka kebersihan, cenderung kaku atau terpaku pada satu hal saja, dan memiliki pikiran yang gelap.
Jangan khawatir: semua itu juga ada penangkalnya.
Dan yang jelas: Selasa Wage itu hari kelahiran saya –meski tingkat kebenarannya sangat kecil.
Memang ada yang usul: sama-sama mengambil nama dari masa lalu kenapa tidak Atlantis. Itu nama masa lalu sekaligus masa depan. Nama Atlantis juga sudah mengglobal. Sebuah teori menyebutkan Indonesia itu, duluuu, satu benua paling hebat di dunia: Benua Atlantis. Lalu runtuh total ketika gunung-gunung raksasa meletus satu per satu. Yang membuat benua itu jadi pulau-pulau seperti sekarang.
Saya sendiri menilai nama Nusantara ok. Bagi saya, nama itu tidak penting. Isinya-lah yang penting.
Nama seperti ”Gudang Garam” atau ‘Djarum” pada dasarnya sangat jelek. Aslinya, Gudang Garam itu terasosiasi ke sebuah bangunan reot di tengah tambak garam. Pun ”Djarum”. Aslinya benda yang tidak bergengsi. Tapi kehebatan dua perusahaan rokok itu telah mengubah citra gudang garam dan jarum menjadi benda istimewa.
Pun kalau Indonesia kelak bisa semaju Gudang Garam dan Djarum, tentu citra nama Nusantara bisa berubah drastis menjadi lebih keren dari Jakarta.
Mesir sebenarnya sudah lebih dulu memindah ibu kotanya dari Kairo. Sejak 2015. Tapi sampai sekarang belum jadi. Juga belum diberi nama. Sebutan sementaranya: Al Asima Al Idariyya Al Jadida. Sering disebut kota New Hope –harapan baru.
Luas ibu kota baru itu lebih besar dari negara Singapura. Letaknya di antara Kairo dan kota Suez. Gedung-gedung pencakar langit sudah banyak dibangun. Tapi masih belum ada yang mau pindah ke sana. Lokasi kota ini di tengah padang pasir.
Nusantara menyalip Mesir. Tiba-tiba Nusantara jadi nama kota ibu kota. Maka, apa pun yang selama ini telah menggunakan kata Nusantara harus memikirkan ulang: apakah masih relevan.
Misalnya Islam Nusantara, tiba-tiba menjadi Islam ibu kota. Mumpung KH Said Aqil Siroj masih hidup: mau diapakan Islam Nusantara.
Yang sulit adalah: Koes Ploes. Yang sudah lama meninggal. Begitu banyak lagunya yang berjudul Nusantara: mau diapakan.
Terserah saja.
Akhirnya saya suka humor yang beredar di medsos ini: kalau di Jakarta ada Jabodetabek, di Nusantara nanti mestinya ada Bonus Sambal Terong –Bontang-Nusantara-Samarinda-Balikpapan-Tenggarong. (Dahlan Iskan)