Oleh: Dahlan Iskan
“JALAN menuju Jambi menakutkan”. Maka kami pun harus berangkat pukul 06.00. Agar jangan terjebak macet berat saat keluar kota Palembang.
Kata ”menakutkan” itu baru muncul belakangan. Setelah ada tol (lihat Disway 6/2/2022: Tol Al Haka) dari Bakauheni (Lampung) ke Kramasan (Palembang).
Dulunya, perjalanan Palembang-Jambi seperti itu biasa saja: memang harus termehek-mehek begitu. Tapi sejak ada tol Lampung-Palembang jalan biasa itu dianggap melelahkan. Jalur lama lainnya pun sebenarnya juga seperti itu: Palembang-Prabumulih, Pekanbaru-Dumai, juga jalan lama Lampung-Palembang sendiri.
Maka Palembang-Jambi yang memang jauh, terasa lebih nun lagi. Seperti juga Rembang –sejak ada tol trans Jawa– yang sebenarnya dekat, tiba-tiba menjadi seperti jauh sekali.
Maka mimpi saya untuk bisa berlama kangen-kangenan di Palembang hilang. Padahal setelah tiga tahun, baru kali ini ke Palembang lagi. Itu pun sudah menjelang senja. Gara-gara terlalu sering mampir rest area di tol Lampung-Palembang. Juga akibat macet berat di pintu tol Kramasan.
Maka begitu tiba di kantor Harian Sumatera Ekspres Group, Palembang, saya sudah lama ditunggu kambing. Saya harus menyerahkan kambing itu untuk tim online yang bulan itu mengalahkan tim Radar Cirebon –yang biasanya selalu juara.
“Tim Anda kan tiga, kok kambingnya hanya dua?” tanya saya.
“Yang satu sudah diikhlaskan untuk dipotong siang tadi. Untuk makan malam bersama dengan Pak Dahlan,” jawab Muslimin, bos di situ.
Malam pun tiba. Diiringi sate, gulai, dan satu lagi yang mirip gulai Palembang tapi bukan gulai. Saya menyesal tidak mengajak istri –penggemar kambing tak terkalahkan, oleh saya.
Canda, tawa, humor, saling ledek, dan asap kambing campur menjadi satu. Sisa waktu tinggal sedikit –karena harus nonton siaran sepak bola.
Beberapa agenda yang belum dibuat harus dicoret. Tapi yang tiga ini harus tetap disempatkan. Biarpun di tengah gelap: nostalgia urusan sumbangan Rp 2 T itu. Maka kami mampir ke restoran Padang milik di cantik ”lima i” itu. Yang dokter spesialis kandungan itu. Yang resto itu ternyata di sebelah rumahnyi yang sangat besar dan megah itu. Siapa tahu si ”lima i” lagi ada di resto –ternyata lagi bertugas di rumah sakit miliknyi sendiri.
Saya juga ke rumah Ahong. Yakni putri Akidi Tio, yang menjanjikan menyumbang Rp 2 T ke Kapolda Sumsel –dari warisan orang tuanyi.
Kami mengetuk-ketuk pintu pagar rumahnyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di situ. Kami tidak mau mendobraknya. Ini memang kunjungan spontan. Yang penting saya tahu sendiri rumah di jalan kampung itu. Saya bisa tahu bahwa rumah Ahong memang sesuai dengan yang digambarkan wartawan Sumeks yang diberikan ke saya waktu menulis sumbangan 2T itu.
Ternyata akurat: rumahnya ya seperti itu. Hanya sedikit lebih bagus dari yang saya bayangkan.
Mengapa sejak awal saya meragukan sumbangan 2T itu?
Saya tahu tradisi Tionghoa: urusan warisan bukan ditentukan oleh anak wanita seperti Ahong. Apalagi Akidi Tio punya anak sulung laki-laki (lao da, baca: lao ta). Mestinya, lao da itulah yang lebih tahu soal waris.
Si lao da tinggal di Jakarta. Ia punya putri yang ngetop: mejeng di dalam pesawat pribadi dengan jam tangan RM jenis yang sangat mahal. Foto itu pernah viral di medsos.
Tapi ya sudah. Saya tidak tahu seberapa baik hubungan antara lao da dan si Ahong. Atau seberapa buruk. Saya tinggalkan rumah Ahong.
Tinggal satu lagi yang masih bisa dikunjungi di hari Imlek seperti malam itu: Kelenteng. Saya pilih yang terdekat: Kelenteng marga Chu.
Inilah uniknya Palembang: semua marga Tionghoa punya kelentengnya sendiri-sendiri. Tidak ada daerah lain yang seperti itu. Umumnya kelenteng adalah oikumene: untuk siapa saja. Maka di Palembang sampai ada 76 kelenteng!
Mengapa di Palembang begitu banyak Tionghoa marga Chu? Tidak ada yang bisa menjawab. Marga Chu ini minoritas di banyak tempat. Harus ada penelitian untuk itu.
Apakah itu ada hubungannya dengan kedatangan orang Tionghoa ke Palembang yang jauh sebelum ada Indonesia. Bahkan sebelum ada nama Palembang.
Di gerbang kelenteng itu tertulis: ?? (ju gang, baca: ji kang). ? berarti “sangat besar”. ?y berarti “Pelabuhan”. Itulah nama Palembang di peta lama Tiongkok: Pelabuhan Sangat Besar.
Berarti sejak zaman kuno Palembang sudah terkenal sebagai pelabuhan yang sangat terkenal.
Karena itu penelitian tentang kedatangan Tionghoa ke Nusantara tentu tidak bisa mengabaikan Palembang. Apalagi setelah saya membaca novel karya Remy Sylado tentang Chenghe: armada Chenghe justru paling lama berlabuh di Ju Gang. Siang hari awak armada itu berdagang. Malam hari, sebagian berkesenian. Sebagian lagi melakukan operasi militer: menangkap ”penjahat-penjahat politik” yang lari ke Ju Gang.
Para penjahat politik itu adalah mereka yang beroposisi ke kaisar. Mereka kalah, lalu lari ke selatan: ke Vietnam, ke Nusantara, terutama ke pelabuhan besar di sungai Musi yang tersembunyi itu.
Remy Sylado tentu belum diakui sebagai peneliti. Ia adalah seniman terkemuka. Terutama di seni musik dan teater. Tapi ia bertahun-tahun tenggelam di perpustakaan Belanda: soal asal usul orang Manado dan soal misi armada Chenghe. Menurut Remy, di balik misi dagang dan budaya Chenghe ternyata ada misi menangkap oposisi sampai di mana pun. Karena itu dalam novel Remy Sylado digambarkan ini: bagian bawah salah satu kapal di armada besar itu ada penjaranya. Mereka yang ditangkap selama ekspedisi dimasukkan penjara di bagian bawah kapal itu.
Saya pun keliling kelenteng marga Chu. Di halaman depan masih terlihat tenda besar. Pertanda yang sembahyang Imlek tadi malam sangat banyak.
Di halaman baratnya ada “Rumah Nama”. Di situlah nama-nama orang marga Chu ditulis di atas lempengan-lempengan marmer. Nama-nama itu adalah nama kakek-nenek mereka di zaman dulu. Juga nama-nama marga Chu zaman sekarang.
Di ruang nama itulah dipanjatkan doa oleh anak cucu mereka –sebelum nama si anak cucu sendiri pada gilirannya juga akan ditulis di situ.
Di halaman belakangnya ada tenda yang lebih besar lagi. Agak permanen. “Ini untuk pesta perkawinan. Bisa 5.000 orang,” ujar pengurus di situ. Berarti bisa untuk 700 meja –satu meja 8 orang di kebiasaan di sini.
Di sini ternyata biasa pesta perkawinan diselenggarakan di halaman belakang kelenteng: di bawah tenda tanpa AC.
Di antara tempat pesta dan bangunan kelenteng itu ada gundukan tanah. Saya tahu maksud gundukan itu: agar seperti ada gunung di belakang bangunan induk kelenteng. Kawasan ini tanahnya datar. Kelenteng ini di tanah datar. Padahal bangunan kelenteng –juga rumah orang Tionghoa– sebaiknya memenuhi prinsip ini: “bersandar ke gunung, memandang laut”. Kokoh dan damai. Maka dibuatlah seolah kelenteng ini bersandar ke gunung.
Malam itu terlalu asyik di kelenteng marga Chu ini. Lain kali ingin ke kelenteng marga yang lain. Hari pun kian larut. Jadwal sepak bola terlewatkan. Besok paginya harus berangkat pagi-pagi ke Jambi –dengan mental baja: siap termehek-mehek 9 jam di jalan. (Dahlan Iskan)