Oleh: Dahlan Iskan
IA terus membangun pabrik. Pun di masa pandemi ini. Saya diajak melihat salah satu pabrik barunya itu. Di Muara Baru, Jakarta. Sudah hampir jadi.
Muara Baru adalah ikan. Itu memang pabrik ikan: untuk memproses agar ikan menjadi beku. Lalu diekspor ke berbagai negara.Ia punya pabrik ikan banyak sekali: di Dobo, Maluku Selatan; di Bitung; di Tuban, di Cilacap; di Pelabuhan Ratu; dan di mana-mana. Ia juga punya kapal-kapal penangkap ikan ukuran maksimum yang diizinkan: 350 ton. Juga punya kapal-kapal pengangkut ikan.
Namanya: Yusuf Ramli. Asal: Dumai –keturunan Padang. Usaha Yusuf terus berkembang. Pun di masa pandemi.
Belakangan, ia malah bisa ekspor ikan yang mengherankan: ikan asin! Tujuan ekspornya ke Colombo, Sri Lanka. Saya baru tahu ini: orang Sri Lanka-lah penggemar ikan asin terkemuka di dunia. Sampai-sampai, di sana, ada McDonald’s ikan asin.
Tentu saya harus percaya itu. Daripada harus ke Sri Lanka lagi untuk membuktikannya. Terbukti tiap bulan Yusuf bisa ekspor dua kontainer ikan asin ke Colombo. Rutin.
Itu bukan ikan asin biasa. Bukan sejenis ikan kembung atau peda –yang biasa kita makan di desa-desa di Jawa. Ikan asin untuk ekspor ini ikan besar: ikan manyung. Yang satu ekor bisa 10 kg. Bagian badannya yang diasinkan. Sedang kepalanya, Anda sudah tahu. Terutama bagi Anda yang sering lewat pantura.
Lebih utama lagi kalau lewat jalan antara Pati-Rembang. Banyak papan mencolok di pinggir jalan: menawarkan masakan kepala ikan manyung.
Yusuf dapat izin menangkap ikan di laut Arafuru –di antara Bandaneira, Saumlaki, dan Dobo. Saya belum pernah ke Bandaneira, tetapi pernah ke Dobo dan Saumlaki. Jauh sekali.
Empat kapalnya beroperasi di sana. Disediakan kapling khusus di laut di sana. Yang batasnya bisa dilihat di GPS. Kapal-kapalnya tidak boleh mencari ikan di luar titik-titik koordinat yang sudah ditentukan. Itu sudah kaplingnya perusahaan lain lagi.
Laut Arafuru, memang sudah dikapling-kapling –menjadi lebih 1.000 kapling. Silakan ambil salah satu kapling di situ. Dengan cara minta izin ke kementerian perikanan dan kelautan.
Setiap kapal penangkap milik Yusuf punya 40 orang awak kapal. Aat akan sangat cocok bekerja di kapal ini: tidak boleh pulang selama satu tahun. Mereka harus tetap di atas laut selama satu tahun itu.
Menjelang Lebaran mereka baru boleh pulang. Setelah itu mereka balik lagi ke Arafuru untuk setahun ke depan.
Tugas kapal itu hanya menangkap ikan. Lalu membekukannya. Ada alat pembeku di perut kapal. Yang suhunya minus 40 derajat. Yang bisa membuat ikan langsung beku.
Kapal penangkap tidak perlu mengirim hari tangkapan. Ada kapal pengangkut yang datang dan pergi.
Datang membawa air dan bahan makanan. Pulang membawa ikan beku: ke Muara Baru, Jakarta.
Dua kapal pengangkut itulah yang mondar-mandir Arafuru–Muara Baru.
Yusuf baru berumur 49 tahun. Ia punya anak satu –perempuan.
Anak itu ia sekolahan ke Tiongkok: ke kota Xiamen. Sekarang sudah pulang. Sudah berumah tangga, dengan satu bayi.
Sang Putri kini tinggal di Bitung: memimpin dua pabrik ikannya yang ada di Sulut. “Biar matang di sana,” ujar Yusuf.
Tidakkah kasihan pada anak perempuan? “Tentu saya sayang sekali. Tapi kalau di Jakarta dia nanti hanya tahu matang. Kalau di Bitung bisa tahu ikan sejak A sampai Z,” tambahnya.
Yusuf sendiri memulai usaha dari bawah. Dua kali bangkrut. Habis. Sampai terlempar menjadi sopir truk –jurusan Jakarta-Cirebon. Lalu Yusuf diterima menjadi sopir pribadi seorang pengusaha Tionghoa. Lukas namanya. “Pak Lukas orangnya baik. Saya diberi modal usaha,” ujar Yusuf.
Ayah kandung Yusuf sendiri seorang pedagang kecil di Dumai. Sang ayah menyekolahkan anaknya itu ke Sekolah Menengah Usaha Perikanan di Dumai. Begitu tamat Yusuf jadi awak kapal. Milik asing. Jurusan Guam di Samudera Pasifik. Sampai dua tahun Yusuf di sana.
Setelah punya sedikit tabungan Yusuf pindah ke Jakarta. Usaha kecil-kecilan. Gagal. Bangkit lagi. Gagal lagi. Lalu jadi sopir truk tadi.
Juragannya itulah yang menyarankan Yusuf mulai dagang lagi. Dagang ikan. Beli ikan di Muara Baru, dijual di pasar-pasar kampung. Mulailah ia jual beli ikan. Kian lama kian besar. Pinjaman yang diberikan
Lukas pun bisa ia lunasi. Lukas masih sempat melihat Yusuf berkembang menjadi pengusaha besar.
Lukas juga sempat tahu Yusuf sudah punya begitu banyak pabrik ikan. Juga sempat tahu Yusuf sampai punya enam kapal.
Setelah Lukas meninggal dunia Yusuf tetap menjalin hubungan keluarga dengan anak-anaknya.
Kini Yusuf membina pengusaha kecil ikan di kampung-kampung. Jumlah mereka sudah mencapai 60.000 orang. Itulah mereka yang membuat ikan pindang di rumah masing-masing. Yusuf yang memasok ikan ke para pemindang itu: ikan layang, tongkol, cakalang, dan salem.
Ikan kecil-kecil itulah yang dimasuk-masukkan ke besek bambu. Besek yang sudah berisi ikan itu lantas dimasukkan ke air mendidih yang sudah berbumbu. Jadilah ikan pindang siap jual.
Pemindang itu tergabung dalam Koperasi Komira. Komira adalah nama perusahaan milik Yusuf: PT Komira Group.
Komira memang menangkap banyak sekali ikan layang. Terutama ikan layang muroaji. Tujuan utamanya bukan untuk dipindang, melainkan untuk ekspor ke Taiwan dan Korea.
Diapakankah ikan itu di sana? “Untuk umpan memancing tuna besar,” ujar Yusuf.
Pancingnya tentu bukan seperti pancing di kolam ikan. Pancing di lautan ini diikatkan ke kapal. Tali pancingnya bercabang-cabang. Satu rangkaian tali pancing punya 5.000 mata pancing. Berarti perlu 5.000 umpan kiriman dari Yusuf.
Yusuf tidak hanya ekspor. Untuk ikan-ikan tertentu Yusuf justru impor. Misalnya ikan salmon untuk disajikan sebagai sashimi di resto-resto Jepang di Indonesia. Juga ikan yang diperlukan pabrik-pabrik sarden dalam kaleng. Indonesia sudah kekurangan ikan untuk bahan baku sarden ini.
Di tengah lautan pengusaha besar Tionghoa, di Muara Baru ternyata masih ada satu orang Dumai bernama Yusuf Ramli. (*)