Menu

Mode Gelap
Wartawan AJNN Aceh Dilaporkan ke Polisi, Ini Sikap Tegas PJS Perhimpunan Jurnalis Siber Provinsi Lampung Resmi Dibentuk P3K Bakal Tak Diusulkan Lagi Pelajar SDN Handuyangratu Masih Belajar di Eks Balai Desa Disdikbud Persiapkan SDM Dalam Era Pembelajaran Digital

Opini · 3 Apr 2022 20:52 WIB ·

Puasa Lokal


 Puasa Lokal Perbesar

Oleh : Dahlan Iskan

SAYA sudah sahur kemarin malam, tapi baru buka puasa nanti sore. Makan sahurnya tetap –istri sudah telanjur masak– tapi tidak jadi puasa: mundur, ikut pemerintah.

Heboh kapan mulai berpuasa memang kembali ramai –meski tidak seheboh kalau yang berbeda Lebarannya. Lumayan bisa sedikit melupakan kenaikan harga BBM. Perbedaan hari Lebaran itu berat karena ada unsur ayat yang berbunyi: haram berpuasa di hari Lebaran. Kalau sebagian sudah Lebaran, yang masih berpuasa bisa merasa dituduh berbuat haram. Tapi Indonesia punya caranya sendiri: hari itu sudah tidak berpuasa tapi Lebarannya ikut keesokan harinya.

Meski berbeda dalam memulai puasa, tahun ini perbedaan itu sudah lebih ”ilmiah”. Sudah tidak lagi soal pakai melihat bulan atau pakai hitungan astronomi. Soal ”sudah bisa melihat bulan” atau ”belum bisa melihat bulan” tidak lagi penting.

Perdebatannya sudah menyangkut 2 derajat dan 3 derajat.

Semua sudah sepakat menggunakan perhitungan astronomi. Semua sudah sepakat: kemarin itu bulan memang sudah terbit. Hanya saja masih terlalu rendah. Baru 2 derajat. Secara mata, terbit 2 derajat belum bisa dilihat. Tapi secara ilmiah, meski baru 2 derajat bulan sudah terbit.

Perbedaannya tinggal mana yang dipegang: sudah terbit atau sudah bisa dilihat.

Saya ikut orang yang lebih pintar dari saya saja –apalagi kalau yang lebih pintar itu memulai puasanya belakangan.

Tapi sebenarnya saya punya pendapat sendiri: perlunya otonomi daerah dalam menentukan dimulainya puasa. Puasa ditentukan secara lokalitas. Demikian juga Lebaran. Jatuh pada tanggal berapanya ditentukan tidak secara nasional.

Kita sudah biasa menerima perbedaan berdasar lokalitas itu: waktu azan Magrib di Surabaya berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di Makassar, Ambon, dan Jayapura. Atau di Palembang, Padang, Medan, dan Aceh. Demikian pula azan subuh dan waktu salat lainnya.

Kita tidak pernah heboh kenapa azan Magrib di Makassar berbeda dengan di Jakarta. Mungkin kita justru heboh kalau waktu azannya disamakan.

Sudah merupakan kenyataan bahwa wilayah Indonesia ini memanjang ke timur. Saya membuka Google kemarin. Azan Magrib di Jayapura pukul 15.43 WIB. Azan Magrib di Sabang pukul 18.48.

Selisihnya 3 jam lebih.

Ketika orang Aceh belum mulai salat Asar di sore hari, orang Islam di Jayapura sudah berbuka puasa. Itu karena matahari terbit dari timur. Bukan terlihat dulu dari barat.

Perbedaan jam itu tentu tidak terlalu mencolok kalau matahari terbit dari Selatan –problemnya pindah ke negara seperti Argentina yang memanjang ke selatan.

Tentu posisi bulan yang baru 2 derajat kemarin itu dilihat/dihitung dari satu tempat: Jakarta?

Padahal dua derajat di Jakarta bisa jadi sudah 8 derajat di Sabang, Aceh. Sebaliknya, dua derajat di Jakarta belum punya derajat di Jayapura atau Makassar. Atau sebaliknya? Pokoknya, soal apakah bulan sudah terbit berapa derajat itu tergantung dihitung dari wilayah mana di Indonesia ini.

Kita sudah bisa menerima perbedaan antar daerah soal azan Magrib. Bahkan dipublikasikan secara luas pula: Anda bisa tahu di kota apa, azan Magribnya jam berapa. Tinggal lihat di google –dahulu ditempel di dinding-dinding masjid.

Maka sudah saatnya dimulainya puasa pun diatur seperti azan Magrib. Beda kota beda mulai puasanya. Kian ke barat kian awal hari puasanya. Apalagi bulan puasa sudah tidak dikaitkan lagi dengan libur sekolah atau libur nasional. Kapan saja mulai puasa tidak ada pengaruh sosialnya.

Grup senam saya juga sudah terbiasa: hari apa pun mulai puasanya, tidak berpengaruh pada kegiatan olahraga. Memang ada yang bersuara: puasa-puasa kok olahraga. Saya pun begitu: dulu.

Lalu saya ingat ayah saya: biarpun bulan puasa tetap ke sawah. Mencangkul. Di bawah terik matahari. Punggung telanjangnya seperti terbakar. Sesekali disiram air bercampur lumpur. Tanpa mengenakan baju atau kaus. Ayah membanting tulang selama lima jam: pukul 05.00 sampai 10.00. Hanya mengenakan caping dan celana komprang. Sorenya masih mencangkul lagi di pekarangan. Olahraga ini tidak ada beratnya sama sekali kalau saya ingat ayah saya itu.

Rasanya sudah takdir Indonesia untuk sering punya perbedaan waktu puasa atau Lebaran. Selisih tiga jam antara wilayah paling timur dan paling berat membuat perbedaan itu sebagai keniscayaan.

Anggap saja, ada kesepakatan, waktu puasa tiba kalau bulan sudah terbit setinggi 3 derajat. Maka tinggal dihitung: kota/daerah mana saja yang sudah harus mulai puasa.

Rasanya tidak ada yang rumit.

Agama, ketika A-nya sudah menjadi huruf besar, memang cenderung menjadi rumit. Islam, ketika I-nya sudah menjadi I-besar demikian pula. Hak-hak pribadi untuk meyakini sesuatu sudah diambil oleh kelompok-kelompok agama.

Dulu, ketika agama yang disebarkan Nabi Muhammad ini belum dinamakan Islam secara formal –bahkan belum dinamakan sebagai Agama dengan A-besar– mungkin tidak serumit dan seemosional sekarang. (Dahlan Iskan)

Artikel ini telah dibaca 9 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

IKA PMII Lampura Gelar Silaturahmi, Tebak Apa yang Dibahas ya???

11 Agustus 2023 - 00:11 WIB

Dibantu Malah Jadi ‘Pekara’

26 Juli 2023 - 23:31 WIB

Dikejar Target

19 Mei 2023 - 08:31 WIB

PIlkades Bersumber Dari Dua Mata Anggaran

14 Maret 2023 - 20:30 WIB

Perlunya Pengawasan Pemuktahiran Data

13 Maret 2023 - 19:41 WIB

Pentingnya Pendampingan Anak Korban Banjir

12 Maret 2023 - 17:20 WIB

Trending di Beranda