SURABAYA – Menjadi pemateri dalam diskusi Komunitas Tanya-Tanya Hukum, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengajak generasi muda para pegiat Justicia untuk berpikir dengan nalar dan asumsi yang benar, agar tidak terjebak dalam kesalahan logika. Terutama dalam memahami hakikat, makna dan tujuan demokrasi.
LaNyalla mengungkapkan Demokrasi itu kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan presiden. Apalagi di tangan Partai Politik.
“Kita harus mengukur, sistem mana yang lebih utuh memberikan ruang kedaulatan kepada rakyat. Antara sistem demokrasi Pancasila dengan sistem demokrasi liberal ala barat, yang diterapkan Indonesia sejak era Reformasi,” ungkap LaNyalla saat menjadi keynote speech Kompetisi Nasional Esai Hukum Tata Negara Menyongsong Pemilu Serentak 2024 bertema “Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan Dalam Penyelenggaraan Pemilu yang Aspiratif dan Demokratis di Indonesia, secara Virtual, Sabtu (30/9/2023).
Dijelaskan LaNyalla, demokrasi adalah salah satu pilihan sistem bernegara. Sedangkan secara hakikat, ada dua hal penting dari demokrasi. Pertama, memberi ruang dan saluran di dalam tata negara kepada warga negara. Kedua, bisa secara langsung atau perwakilan.
“Artinya, sistem demokrasi itu harus ada ruang atau saluran yang utuh bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk menentukan arah perjalanan bangsa dan negaranya. Dan bisa dilakukan melalui perwakilan. Tidak harus secara langsung,” tukas dia.
Secara makna, lanjutnya, demokrasi adalah suatu mekanisme yang memberi ruang kepada rakyat untuk menentukan kehidupannya. Karena itu, rakyat diberi ruang untuk menilai kebijakan negara. Karena kebijakan negara tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.
“Jadi terdapat mekanisme kontrol dan check and balances dari pemilik kedaulatan, yaitu rakyat terhadap negara sebagai pembuat kebijakan,” tutur Senator asal Jawa Timur itu.
“Dari sini bisa mulai kita bahas, apa perbedaan mendasar antara sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa kita, yang kita kenal dengan istilah Demokrasi Pancasila, dengan sistem bernegara yang digagas negara-negara barat, yang dikenal dengan istilah Demokrasi Liberal, yang sekarang diterapkan di Indonesia,” ungkap LaNyalla.
Para pendiri bangsa, imbuh LaNyalla, sudah bersepakat bahwa sistem demokrasi yang paling tepat untuk Indonesia, sebagai negara super majemuk dan negara kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan adalah sistem demokrasi perwakilan. Bahkan, pendiri bangsa menemukan satu sistem tersendiri, tidak hanya demokrasi perwakilan saja, tetapi juga demokrasi utusan.
“Sehingga sistem Demokrasi Pancasila itu adalah sistem demokrasi Perwakilan dan Utusan. Di mana rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak hanya mewakilkan kepada yang mereka pilih melalui Pemilu saja, tetapi ada ruang dan saluran bagi komponen bangsa yang duduk melalui Utusan,” papar LaNyalla.
Di dalam sistem Demokrasi Pancasila ditandai dengan adanya Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan rakyat, yang diisi melalui Pemilu dan Utusan. Itulah yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di dalamnya terdapat unsur DPR yang dipilih melalui Pemilu dan unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang diutus dari masing-masing kelompok. Sehingga ciri utama dari sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa menjelma berada di dalam Lembaga Tertinggi Negara. Itulah mengapa disebut sebagai sistem tersendiri, yaitu menjadi sistem yang berkecukupan, sistem yang utuh.
Sistem Demokrasi seperti itu secara prinsip menjamin Hakikat dan Makna serta Tujuan dari Demokrasi. Karena, semua unsur rakyat sebagai pemilik kedaulatan, duduk di dalam ruang tata negara yang memiliki saluran untuk ikut menentukan arah dan perjalanan bangsa dan negara.
Karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara menyusun Haluan Negara, lalu memilih Presiden sebagai pelaksana Haluan Negara, sekaligus mengevaluasi kinerja presiden dalam mewujudkan Haluan Negara tersebut.
Hal ini sangat penting dipahami, karena pada hakikatnya, Haluan Negara itu adalah pernyataan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Bukan kehendak presiden. Karena memang presiden tidak boleh suka-suka membuat kehendak. Karena dia bukan pemilik kedaulatan. Yang menjadi pemilik kedaulatan adalah rakyat. Itulah Demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Bukan di tangan presiden.
Pada kesempatan itu, LaNyalla juga membedah sistem demokrasi yang saat ini diterapkan di Indonesia, yang merupakan hasil dari Era Reformasi 20 tahun yang lalu. Sistem demokrasi yang saat ini diterapkan merupakan hasil dari teori-teori Barat tentang tata negara yang disebarluaskan di kampus-kampus dan buku-buku yang menjadi bacaan mahasiswa kala itu.
Hasilnya, saat ini kedaulatan bukan lagi berada di tangan rakyat. “Karena
pelaksana kedaulatan adalah Partai Politik dan Presiden terpilih. Itu faktanya. Karena rakyat menyerahkan total kedaulatan tersebut melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Langsung,” ujar LaNyalla.
Sehingga Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik. Dengan cara, bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
“Jadi kalau Presiden menginginkan payung hukum Undang-Undang untuk memaksa secara hukum kepada seluruh rakyat Indonesia, tinggal diproses di Senayan, disepakati partai politik koalisi, maka selesai sudah arah perjalanan bangsa ini hanya ditentukan oleh Presiden Terpilih dan Ketua-Ketua Partai,” tandasnya.
*Peran DPD-RI Lemah?*
Lalu di mana ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa? tambahnya.
“Tidak ada lagi. Karena memang tidak ada lembaga tertinggi lagi. MPR bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing,” urai Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur tersebut.
Diakui LaNyalla, memang ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal.
“Jadi, kekacauan tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam,” bebernya.
“Dan perlu dicatat di sini, bahwa perubahan Konstitusi di Era Reformasi tersebut didasarkan atas penyederhanaan pandangan dan penyederhanaan asumsi, bahwa Sistem Demokrasi Pancasila adalah Sistem Orde Baru. Padahal, Sistem Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, sama sekali belum pernah secara benar diterapkan, baik di Era Orde Lama, maupun Orde Baru,” ungkapnya.
Oleh karenanya, LaNyalla mengajak membangun kesadaran kolektif bangsa untuk kembali ke Pancasila. Tujuannya adalah mengembalikan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan Identitas Konstitusi kita.
“Kita dorong semua elemen bangsa, agar terwujud Konsensus Nasional, untuk kita kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, tanpa mengganti Sistem Bernegara yang bermuara kepada Penjelmaan Rakyat di dalam MPR sebagai Pelaksana Kedaulatan,” demikian LaNyalla.(*)