JAKARTA – Indonesia, sebagai negara yang menggelar pesta demokrasi pada tahun 2024, kembali berada di tengah sorotan terkait pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sayangnya, langkah-langkah yang diambil oleh lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Kejaksaan Agung (KEJAGUNG) dinilai oleh Dewan Pimpinan Pusat Nasional Corruption Watch (NCW) sebagai terlambat dan minim respons terhadap aduan masyarakat.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang kemampuan negara dalam menjalankan pemberantasan KKN.
Ketua Umum DPP NCW, Hanifa Sutrisna, dalam sebuah konferensi pers yang digelar pada Senin (23/10/2023) di Pancoran, Jakarta Selatan, menyampaikan keprihatinan atas rendahnya respons dari lembaga penegak hukum terhadap keluhan masyarakat.
Ia membandingkannya dengan perilaku “cuek bebek,” di mana lembaga-lembaga tersebut tampak tidak merespons aduan masyarakat dengan serius.
Hanifa menduga bahwa ada kemungkinan adanya kesepakatan atau permainan kotor di antara para elit penguasa negara.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah upaya pemberantasan korupsi sengaja terhambat.
“Apakah ini pertanda adanya kesepakatan dan persekongkolan para elit penguasa dalam negeri, yang kita sebut Indonesia, sehingga upaya pemberantasan korupsi terhenti?” tanyanya.
Sebagai lembaga pengawas yang berfokus pada pemberantasan KKN, NCW telah mengungkapkan lima dugaan kasus korupsi selama dua pekan terakhir melalui media massa.
Namun, respons dari lembaga penegak hukum tampaknya belum mencapai tingkat yang memadai.
Dalam situasi ini, Hanifa mengungkapkan kekhawatiran bahwa masyarakat Indonesia akan semakin apatis terhadap upaya pemberantasan KKN, mengingat kekurangan ketegasan lembaga penegak hukum dalam menangani kasus tersebut.
Hanifa juga menyuarakan keprihatinan terkait pencalonan calon presiden (Capres) dan menyoroti kesuksesan oknum Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang saat ini menjadi calon presiden untuk periode 2024-2029.
Prabowo memiliki dugaan korupsi terkait pembelian pesawat bekas senilai Rp11,8 triliun. NCW meminta agar kasus ini diungkapkan dan dibuktikan.
Pihak NCW juga menunggu tanggapan dari Pemerintah Qatar terkait dugaan mega korupsi pembelian pesawat bekas.
Informasi yang diterima oleh NCW menyebutkan bahwa skuadron Mirage 2000-5 bekas yang dibeli tanpa izin dari Komisi I DPR-RI adalah sama dengan yang akan dihibahkan ke Indonesia pada tahun 2009.
Dalam upaya pemberantasan KKN, NCW bersikeras mendorong lembaga penegak hukum, termasuk KPK, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung, untuk mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan lima oknum menteri Kabinet Indonesia Maju Presiden Jokowi, yaitu PS, AH, BL, DA, dan ET.
Hanifa meminta Bapak Kapolri, Jaksa Agung, dan Komisioner KPK untuk tidak memihak dalam menangani kasus ini.
Ia menegaskan bahwa kelakuan para oknum menteri ini dapat merusak mental generasi muda Indonesia yang akan menjadi penerus bangsa.
DPP NCW juga menyoroti dugaan pembiaran terhadap korupsi yang dilakukan oleh oknum Menteri Pertahanan dalam program Lumbung Pangan Nasional (LPN) atau food estate sejak tahun 2020 hingga saat ini.
NCW berpendapat bahwa ketidakberhasilan program ini, yang telah menghabiskan anggaran yang signifikan, menunjukkan pembiaran terhadap dugaan korupsi.
Hanifa mempertanyakan logika dibalik program yang sudah diprediksi akan gagal, namun tetap dijalankan.
Ia juga merasa bahwa penggunaan APBN yang berisiko dan gagal secara berulang-ulang tidak layak diapresiasi, terutama jika oknum menteri yang bertanggung jawab dalam program ini kemudian diangkat ke posisi yang lebih mulia sebagai calon presiden 2024-2029.
Keseluruhan situasi ini menciptakan keraguan terhadap komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, DPP NCW mendesak lembaga penegak hukum untuk bersikap tegas.(*)