Oleh. H. Makmur, M. Ag
(Ketua DMI Kab. Lampung Utara)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa 4 : 58)
Ada dua perintah Allah dalam ayat tersebut di atas, pertama manusia di perintahkan untuk memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan kedua, kepada yang telah menerima amanah untuk dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam kamus Bahasa Indonesia Amanah di artikan sebagai sesuatu yang di titipkan (di percayakan kepada) orang lain. Sedangkan menurut asalnya, kata amanat terambil dari kata amina-ya’manu-amanan, yang berarti aman-tentram. Ini berarti orang yang mengemban amanah atau menjaga amanah dengan baik, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang aman dan tentram.
Amanah (titipan/pesan) datangnya bisa langsung dari Allah swt, tetapi juga bisa di peroleh dari makhluknya. Yang pelaksanaannya harus di jaga dan di laksanakan dengan sebaik-baiknya. Dus dengan demikian, maka setiap kita adalah sesungguhnya pemegang amanah. Misalnya, Anak merupakan amanah (titipan) bagi orang tua, istri titipan bagi suami, harta titipan bagi orang kaya, ilmu titipan bagi orang alim, kedudukan titipan bagi para pejabat dsb. Sedangkan Secara luas Amanah dari Allah swt adalah melaksankan perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Lebih jauh Ahamad Musthafa Al-Maraghi membagi amanah kepada tiga bagian, yaitu : Pertama, amanah manusia terhadap Tuhan, yaitu semua ketentuan Tuhan harus dipelihara berupa melaksanakan semua perintah Tuhan dan meninggalkan semua larangan-Nya. Termasuk didalamnya menggunakan semua anggota tubuh untuk hal-hal yang bermanfaat serta mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan.
Kedua, Amanah manusia kepada orang lain, diantaranya Pemimpin berlaku adil terhadap masyarakat yang di pimpinnya, Ulama berlaku adil terhadap orang-orang awam dengan memberi petunjuk kepada mereka untuk memiliki i’tikad yang benar, memberi motivasi untuk beramal yang memberi manfaat kepada mereka di dunia dan akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menyuruh berusaha yang pada jalan yang halal serta memberikan nasihat-nasihat yang dapat memperkokoh keimanan agar terhindar dari segala kejelekan dan dosa serta mencintai kebenaran dan kebaikan, contoh lain adalah seorang suami berlaku adil terhadap istrinya, dengan cara menyimpan rahasia pasangan suami-istri, terutama rahasia yang bersifat khusus yaitu hubungan suami istri.
Ketiga, Amanah manusia terhadap dirinya sendiri, yaitu berbuat sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya baik dalam urusan agama maupun dunia, tidak pernah melakukan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat.
Dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana kita harus menjaga amanah yang di berikan kepada kita, Terlebih lagi yang berkaitan atau menyangkut orang lain. Sudah seharusnya sikap amanah ini menjadi kepribadian atau sikap mental yang melekat pada diri kita, yang akan mengiringi setiap gerak langkah kehidupan.
Dengan memiliki sikap mental yang amanah akan lahir sikap prilaku yang positif, terjalin sikap saling percaya, positif thinking (prasanka yang baik), jujur dan transparan dalam seluruh aktifitas kehidupan yang pada akhirnya akan terbentuk model masyarakat yang ideal yaitu masyarakat aman, damai dan sejahtera.
Yang sering terjadi persoalan dalam masalah amanah dimasyarakat adalah yang berkaitan dengan kedudukan atau jabatan sesorang. Ketika baru di lantik menduduki sebuah jabatan, orang sering bilang bahwa itu adalah amanah (titipan), akan tetapi ketika jabatan itu di copot atau kehilangan kedudukannya ia malah sering tidak sadar bahwa itu amanah.
Yang lebih miris adalah untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan, orang sering menghalalkan segala cara. Cara-cara yang di larang oleh agama-pun sering di lakukan, seperti menyuap (sogok/wani piro), melobi dengan cara memfitnah orang, dengan cara nepotisme yang tidak memperhatikan kapasitas dan kemampuan dan cara-cara kolusi lainya.
Dengan cara-cara kotor tersebut, hampir bisa di pastikan, jabatan yang di sandangnya tidak akan berjalan dengan maksimal. Amanah yang seharusnya menjadi jalan pengabdian kepada Allah akan berubah hanya untuk mencari keuntungan dan kepentingan sesaat, amanah yang seharusnya menjadi ladang fahala akan berubah menjadi ladang dosa, amanah yang di percayakan itu berupa rahmat akan berubah menjadi laknat, baik bagi yang menerima maupun bagi yang memberi amanah.
Oleh karena itu dalam tafsir Kementerian Agama juga di jelaskan bahwa Orang mukmin dilarang menghianati hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rosul Nya, serta dilarang menghianati amanat yang di percaykan pada mereka (hal 606 jilid III).
Dalam ayat lain, Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS Al Anfal : 27).
Dari ayat ini menjadi jelas bahwa setiap manusia di perintah untuk menjaga amanah dan dari setiap kita di larang untuk menghianati amanah yang telah di percayakan kepada kita, dan ancamannya pun sangat jelas bahwa barang siapa menghinati amanah, itu berarti sama dengan menghianati Allah dan Rosulnya. Ini menunjukan bahwa betapa pentingya menjaga amanah, betapa kita harus menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menjaga amanah, amiin. (wallahu’alam)