Oleh: Hery Maulana
Assalamualaikum wr wb
Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Daerah, Kabupaten Lampura mencoba peruntungan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sebuah langkah jitu yang dapat merangkum dua sisi sekaligus. Keuntungan yang bakal didapat dan mengurangi pengangguran. Karena akan ada banyak tenaga kerja yang diserap disana. Itu logika sederhananya.
Sayangnya,langkah yang mestinya diajungi jempol itu, tidak terealisasi dengan baik. Alih-alih memberikan keuntungan pada daerah, BUMD justru ‘menggerogoti’ APBD setiap tahun anggaran. Anggaran miliran rupiah yang digelontorkan, tidak membuat BUMD itu dapat beroperasi dengan baik. Jangankan untuk memberi keuntungan. Untuk operasional saja, harus terseok-seok. Namun pemerintah setempat, terus ‘memamah’ BUMD itu hingga bertahun-tahun. Padahal BUMD dimaksud sudah menjadi ‘benalu’ yang terus menggerogoti APBD.
Sekitar tahun 2002, Lampura memiliki BUMD yang mengelola air bersih. Yakni Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Bumi. Sejumlah alat-alat mahal didatangkan untuk memenuhi fasilitas yang dibutuhkan PDAM kala itu. Termasuk membangun bak penampungan air raksasa plus gedung untuk pengelolaan air. Sempat berjalan, namun sepanjang tahun PDAM selalu merugi. Pada akhirnya PDAM ‘gulung tikar’. Sejumlah aset yang menelan anggaran miliaran rupiah terbengkalai.
Lalu, berdiri pula Perusahaan Daerah (PD) Lampura Niaga. Ada banyak unit usaha yang dikelola PD ini. Mulai dari usaha pertanian dan perkebunan hingga air mineral dalam kemasan. Seperti halnya PDAM, pemerintah memberikan fasilitas dan menggelontorkan dana. Dimaksudkan agar PD Lampura Niaga, dapat berjalan dan tentu saja menguntungkan. Namun yang terjadi sebaliknya. Lampura Niaga juga menjadi ‘benalu’ membebani APBD. Setali tiga uang, dengan nasib Bank Syariah, yang sempat digadang-gadang, sebagai BUMD yang bakal besar dan menguntungkan.
Dari tiga BUMD itu, mestinya menjadi catatan penting Pemkab Lampura. Bahwa sebuah usaha yang dijalankan, haruslah dikaji secara mendalam. Tidak hanya tergiur lewat proposal yang diajukan. Tanpa ada kajian secara ilmiah yang melibatkan para ahli didalamnya. Apalagi dalam perjalanannya, menempatkan orang yang tidak kredibel dibidangnya. Modal besar, bukan ukuran maju tidaknya sebuah usaha. Ada banyak faktor didalamnya yang hanya dimengerti oleh mereka yang mumpuni dibidang usaha itu. Usaha itu bukan cuma coba-coba, apalagi hanya akal-akalan untuk ‘menyedot’ anggaran. (**)
Wassalam