BANDARLAMPUNG–Persidangan perkara gratifikasi Lampung Utara dengan tersangka Akbar Tandaniria Mangkunegara digelar ddi PN Tipikor Tanjungkarang, Rabu (5/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat saksi dalam persidangan tersebut.
Empat saksi yang dihadirkan yakni mantan Kadis PUPR Syahbudin, Fria Apris Pratama, Taufik Hidayat dan Hendri Yandi Irawan. Untuk ketiga saksi hadir langsung di Pengadilan Tipikor Kelas IA Tanjungkarang. Sedangkan satu saksi yakni Syahbudin hadir melalui daring, Rabu (5/1).
Dalam kesaksiaannya itu, Taufik Hidayat mengaku sudah lama kenal dengan terdakwa Akbar. Ketika mereka duduk dibangku sekolah yang sama. Awalnya berkenalan, saat itu kata Taufik, dirinya kenal lebih dahulu bersama dengan sepupu Akbar.
“Dan karena berteman dan terjalin lah hubungan persahabatan. Dan didalam proses pertemanan itu kami yang akrab itu terjalin pengangkatan saudara. Hubungan persahabatan kami ini diperkuat dengan mengangkat saudara. Dilanjutkan dengan kuliah di Tahun 1996 sampai 1997,” katanya.
Untuk Syahbudin, Taufik Hidayat tahu dengan Syahbudin sekitar tahun 2015. Saat itu Agung Ilmu Mangkunegara masih menjabat Bupati Lampura. Sebelum menjadi Kadis PUPR, Syahbudin sebelumnya sebagai Sekretaris di Dinas PUPR. Yang dimana Syahbudin sendiri merupakan PNS pindahan dari Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. “Ketika beliau (Syahbudin) menjadi Kadis PUPR dirinya menjabat sebagai Kabid di BKD Lampura,” katanya.
JPU KPK Ikhsan Fernandi mempertanyakan bagaimana proses Syahbudin menjadi Kadis PUPR. “Apakah sebelum dia (Syahbudin) menjadi Kadis PUPR apakah bertemu dulu dengan Agung,” tanya jaksa.
“Saya tidak ingat. Saya ingat ketemu Akbar dirumahnya saat itu saya dihubungi Agung melalui telpon. Disitu Agung meminta saya untuk menghubungi Dani (Akbar Tandaniria). Disana Agung bilang: coba kamu telpon Dani (akbar). Lalu saya telpon saat itu dan saya bilang disuruh kakak kamu nelpon kamu. Dan dia bilang tolong hubungi Syahbudin untuk menemui dirinya di hari Minggu. Itu tahun berapa saya lupa. Di tahun 2014 sepertinya,” kata Taufik.
Lanjut Taufik, setelah itu tidak ada komunikasi dirinya dan Syahbudin. Bertemunya ala kadarnya saja. Menurut Taufik, pertemuan itu kembali terjadi ketika pelaksanaan proyek.
“Saat itu saya enggak tahu pasti soal arahan, saya tahu soal prlaksanaan sudah ditentukan fee untuk rekan itu komunikasi yang sudah terjalin. Saya tahu dari Akbar dan Syahbudin. Dari Agung ada juga ada penyampaian. Saat itu sore saya habis kunjungan perjalanan dinas. Dan, dihubungi agar merapat oleh Agung ngobrol di teras samping kemudian mau mendekati magrib saya diajak pamit pulang dia sampaikan eh itu (pelaksanaan proyek) sudah mau mulai dan koordinasi dengan Sani dan Syahbudin relawan kita jangan dilupakan,” katanya.
Lalu dirinya pun koordinasi dengan Syahbudin, ketika itu tidak sengaja dirinya bertemu Syahbudin di Rumah Dinas Bupati. Dan disitu Syahbudin menyampaikan ke dirinya apabila pelaksanaan proyek segera akan dimulai.
“Saya bilang saya cek dulu tim ini karena saya belum pulang ke Bandarlampung dan bertemu dengan Akbar. Saat itu saya koordinasi bahwasanya menyampaikan tim jangan di lupakan. Tim ini dikasih proyek. Pembagian alokasinya setelah ketemu Akbar dia bilang didata dan jangan sampai lewat kewajiban (fee) nya,” katanya.
Usai mendapati data-data relawan yang sudah terdaftar untuk mengerjakan proyek, Syahbudin memerintahkan Taufik Hidayat agar menarik fee proyek sebesar 20 persen kepada relawan.
Menurut Taufik dirinya juga sempat dititipkan sejumlah uang fee dari relawan untuk diserahkan ke Syahbudin.
“Ya dalam perjanjiannya uang fee itu diserahkan ke Syahbudin. Tetapi karena relawan ini susah menemuinya, akhirnya fee itu dititipkan ke saya. Sebenarnya fee itu nantinya tujuannya diserahkan ke Akbar,” katanya.
Dalam sepengetahuan Taufik, fee sekitar 20 persen itu tidak semua diserahkan ke Akbar Tandaniria Mangkunegara. Melainkan dibagi lagi. Dimana 15 persen diberikan ke Akbar, sedangkan 5 persennya untuk operasional Syahbudin.
“Didalam pemberian proyek ke relawan itu kami ada pembagian empat simpul (koordinator relawan). Namanya sudah ada gitu. Ya udan saya sampaikan ke Syahbudin jangan sampai enggak dapat dan disesuaikan oleh mereka,” katanya.
Ternyata lanjut Taufik, bahwa relawan-relawan itu tidak bisa apabila menyetor di awal. Namun bisanya menyetor di akhir. “Itu relawan di tahun 2016 belum ada duitnya. Jadi mereka minta dibayar di belakang. Saya sampaikan ke Akbar bahwa pembayaran mereka itu bisa di percaya,” katanya.
Menurut Taufik, selama tiga tahun: 2015, 2016 dan 2017 dirinya mendapat penitipan untuk menarik beberapa fee proyek. Untuk di tahun 2015 dirinya menyerankan fee dari penitipan simpul ini sebesar Rp5,4 miliar dengan nilai proyek sebesar Rp18 miliar. Pemberian ini dilakukan secara bertahap di rumah Akbar yang berada di Bandarlampung.
“Kemudian di tahun 2016 saya menyerahkan fee sebesar Rp9 miliar. Di tahun 2017 penyerahan sebesar Rp12 miliar. Dalam penyerahan di tahun 2017 ini, waktu itu Akbar lagi benar-benar butuh dan meminta menyerahkan uang sebesar Rp2,5 miliar dahulu. Kan waktu itu ada kemacetan pembayaran dan kemudian Akbar bilang dia perlu. Dan saya sampaikan ada kemacetan dan dia bilang perlu betul dan di bulan Oktober saya serahkan Rp1 miliar,” katanya.
Taufik pun menjelaskan, selain memberikan penitipan fee ke Akbar dirinya juga pernah menyerahkan ke Syahbudin. “Untuk di tahun 2015 itu saya serahkan Rp1,5 miliar dari penarikan fee empat simpul. Lalu di tahun 2016 sebesar Rp2,9 miliar simpulnya masih sama,” ungkapnya. (ang/wdi/rnn)