Oleh: Hery Maulana (Plt Pimred Radar Kotabumi)
Assalamualaikum Wr Wb
Pada masa Orde Baru, Pancasila tidak hanya ditempatkan sebagai ideologi negara. Tetapi wajib diimplimentasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila yang memang sejalan dengan kehidupan masyarakat, menjadi agung dan sakral. Bukan hanya sebatas ungkapan “harga mati”. Tetapi merasuki lubuk hati yang paling dalam. Tidak ada seorangpun yang berani ‘mengkotak-katik’ Pancasila !
Pemahaman tentang Pancasila, juga ditanamkan sejak dini pada warga. Melalui kurikulum pendidikan mulai tingkatan Sekolah Dasar (SD) yang dikenal dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). PMP ini terus berlanjut pada jenjang pendidikan selanjutnya. Kemudian warga dibekali dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa. Sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003.
Era itu, tidak ada yang dapat menempati posisi tertentu, jika tidak berbekal sertifikat telah mengikuti penataran P4. Pancasilan menjadi sangat luhur dan nyaris tidak ada warga yang tidak hafal dengan bunyi masing-masing sila. Sejarah terbentuknya Pancasila hingga upaya merongrong kewibawaannya, terus digulirkan setiap tahun. Utamanya menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Walau perjalanan waktu dan pergantian rezim, mulai ‘memudarkan’ hakekat ‘agung’ Pancasila, namun dihati sanubari bangsa ini Pancasila ‘harga mati’, final dan mengikat. Tidak ada yang boleh ‘mengkotak-katik’-nya. Ini jua yang melatar belakangi sejumlah daerah melakukan penolakan keras atas RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Apalagi ditenggarai, ada banyak pasal yang diyakini sebagai upaya melemahkan Pancasila. Terlebih konsideran pada UU tersebut tidak mencantumkan TAP MPRS XXV 1966 Tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran komunisme. Ketiadaaan TAP ini dipandang sebagai sebuah kelalaian preferensi ideologis menolak komunisme.
Sementara bangsa ini memiliki pengalaman pahit nan kelam soal komunisme. Jangankan menjadikannya sebuah ideologi, menyebutnya saja sangat-sangat tabu. Sedikit saja ada ‘bau’ komunisme, maka ‘hidung’ warga menjadi teramat sensitif. Karenanya tidak ada ruang sekecilpun yang boleh terinfeksi soal itu. Meskipun baru sebatas gejala. (**)
Wassalam